Kudeta atau Penyelamatan? Tentara Nepal Ambil Alih Setelah Protes Berdarah

oleh -14 Dilihat
Ilustrasi Negara Nepal. Foto: Pixabay.com

LIPUTAN BANDUNG – Nepal memasuki babak baru dalam sejarah politiknya setelah militer mengambil alih kendali pemerintahan pasca-kerusuhan hebat yang mengguncang negara tersebut. Dua hari aksi unjuk rasa besar-besaran berakhir dengan jatuhnya korban jiwa dan pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli.

Pemicu dari kerusuhan ini adalah keputusan pemerintah yang melarang akses ke media sosial. Kebijakan tersebut ditetapkan dengan alasan keamanan nasional, namun masyarakat melihatnya sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi dan sensor terhadap suara rakyat.

Dalam hitungan jam setelah larangan diberlakukan, ribuan orang turun ke jalan. Mereka menggelar aksi protes di pusat kota, terutama di sekitar Gedung Parlemen dan kantor pemerintahan lainnya. Ketegangan meningkat ketika aparat keamanan mulai menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa.

Baca Juga: Menteri PPPA Lakukan Kunjungan Kerja di Polres Kota Cirebon Terkait Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi aksi anarkis. Gedung-gedung milik negara, kantor partai politik, hingga rumah para pejabat tinggi menjadi sasaran amukan massa. Bahkan, kantor Presiden ikut diserang dan dibakar oleh demonstran.

Situasi ini membuat pemerintah kehilangan kendali. Dalam upaya terakhir untuk meredam kekacauan, tentara dikerahkan ke berbagai wilayah strategis. Pihak militer langsung memberlakukan jam malam dan mengambil alih tugas pengamanan dari aparat sipil.

Jenderal Ashok Raj Sigdel, pimpinan militer Nepal, mengimbau warga untuk tenang dan menghentikan aksi kekerasan. Ia menekankan bahwa keberadaan militer adalah untuk memastikan stabilitas nasional, bukan mengambil alih kekuasaan politik.

Meski tekanan publik terus meningkat, pemerintah sempat mencoba menenangkan situasi dengan mencabut larangan media sosial. Namun langkah itu dinilai terlambat. Rasa frustrasi masyarakat sudah terlalu dalam untuk diredam dengan kompromi simbolis.

Baca Juga:KAI Daop 2 Bandung Sampaikan Terima Kasih kepada Pelanggan yang Telah Percaya Memilih Transportasi Kereta Api pada Libur Panjang Maulid Nabi Muhammad

Di tengah tekanan yang terus meningkat, KP Sharma Oli menyatakan pengunduran dirinya. Presiden Ram Chandra Poudel kemudian mengumumkan bahwa Oli akan bertindak sebagai pejabat sementara hingga terbentuk pemerintahan baru.

Krisis ini menyoroti lemahnya institusi demokrasi Nepal dan meningkatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap elit politik. Banyak pihak menilai, akar masalah bukan semata larangan media sosial, tetapi akumulasi dari kekecewaan terhadap sistem yang tidak adil.

Generasi muda, khususnya kelompok usia 18–30 tahun, menjadi ujung tombak gerakan ini. Mereka menyuarakan tuntutan atas transparansi, keadilan sosial, dan pemerintahan yang lebih terbuka. Perlawanan mereka dipandang sebagai gelombang baru perubahan politik di Nepal.

Meskipun kekerasan telah mereda, situasi masih belum stabil sepenuhnya. Tentara tetap berada di jalan-jalan untuk mengawasi keamanan, sementara parlemen dan institusi lainnya mulai bersiap untuk masa transisi pemerintahan.

Pengamat politik menyarankan agar Nepal membuka ruang dialog yang lebih luas dan melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk kelompok muda dan sipil, agar krisis ini tidak berulang di masa depan. Reformasi politik dianggap sebagai solusi jangka panjang yang harus segera diwujudkan.

Ke depan, masa depan Nepal bergantung pada kemauan elit politik dan militer untuk mendengar suara rakyat dan memberikan ruang bagi regenerasi kepemimpinan. Harapan baru mulai tumbuh dari tokoh-tokoh muda yang dianggap bersih, progresif, dan mewakili aspirasi zaman.