IDXCarbon Dorong Transisi Hijau Menuju Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia

LIPUTAN BANDUNG– IDXCarbon Dorong Transisi Hijau Menuju Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia

Perdagangan karbon di Indonesia memasuki babak baru dalam sejarahnya dengan lahirnya Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon. Bursa ini resmi beroperasi sejak 26 September 2023, di bawah naungan Bursa Efek Indonesia (BEI), dan langsung menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen dalam membangun ekosistem perdagangan karbon di tingkat global.

Inisiatif ini bukan hanya sekadar mekanisme perdagangan, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk mencapai target Net Zero Emission 2060, sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Paris serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hingga 22 Agustus 2025, capaian IDXCarbon menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Dari sisi jumlah proyek, IDXCarbon kini mencatat delapan proyek yang terdaftar, meningkat tajam dibandingkan hanya tiga proyek pada 2024.

Baca Juga: Bursa Efek Indonesia Terus Menunjukkan Performa yang Positif untuk Menyambut Tahun 2025

Penambahan proyek ini turut mendorong peningkatan jumlah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dapat diperdagangkan, naik hingga 73 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Data menunjukkan bahwa volume perdagangan karbon sepanjang 2025 sudah mencapai 696.763 ton CO₂ ekuivalen (tCO₂e), dengan nilai transaksi Rp27,74 miliar.

Angka ini melonjak 483 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang hanya mencatatkan 119.463 tCO₂e dengan nilai Rp6,14 miliar. Frekuensi transaksi pun tumbuh 158 persen, dari 50 kali menjadi 129 kali.

Baca Juga: Mengenal Investasi Berkelanjutan dan ‘Carbon Pricing’

Salah satu aspek penting dalam perdagangan karbon adalah mekanisme retirement, yaitu penarikan karbon kredit dari peredaran sebagai bentuk kompensasi emisi. Hingga Agustus 2025, volume retirement di IDXCarbon mencapai 554.076 tCO₂e, naik 34 persen dari tahun sebelumnya.

Angka ini menunjukkan meningkatnya kesadaran perusahaan, institusi, maupun individu untuk melakukan offset emisi, baik sebagai bagian dari kewajiban kepatuhan maupun inisiatif sukarela.

Menariknya, pengguna jasa retirement bukan hanya berasal dari korporasi besar, melainkan juga kegiatan non-komersial seperti seminar nasional, pernikahan, bahkan pelantikan profesor.

Fenomena ini menandai mulai luasnya pemahaman masyarakat bahwa jejak karbon merupakan tanggung jawab bersama.

Keberhasilan IDXCarbon tidak lepas dari berbagai pengembangan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan perdagangan karbon.

Pada Januari 2025, Kementerian Lingkungan Hidup meluncurkan perdagangan karbon internasional melalui IDXCarbon yang memungkinkan produk karbon Indonesia diperdagangkan lintasnegara.

Langkah ini memperkuat posisi Indonesia dalam peta global, apalagi didukung dengan pencapaian prestisius berupa penghargaan Carbon Positive Awards 2025 sebagai Best Official Carbon Exchange in Emerging Economy.

Penghargaan ini diberikan oleh Green Cross United Kingdom, sebuah organisasi internasional yang fokus pada keberlanjutan lingkungan.

Faktor penilaian utama adalah berjalannya IDXCarbon di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan integrasi IDXCarbon dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik pemerintah, sehingga setiap kredit karbon memiliki jejak yang jelas, dapat dilacak, dan mengurangi risiko double counting.

Jika dibandingkan dengan negara lain, performa Indonesia di bursa karbon justru lebih progresif. Pada periode Januari – 22 Agustus 2025, volume perdagangan karbon di Malaysia hanya mencapai 21.586 tCO₂e dan Jepang 239.674 tCO₂e. Angka ini jauh di bawah capaian IDXCarbon yang sudah menembus 696.763 tCO₂e dalam periode yang sama.

Artinya, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun sejak berdiri, IDXCarbon sudah mampu menciptakan pasar yang lebih likuid dibandingkan dua negara yang menginisiasi bursa karbonnya dalam waktu tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Hal tersebut menjadi bukti bahwa potensi Indonesia sebagai carbon hub kawasan Asia cukup besar, mengingat kekayaan sumber daya alam dan peluang proyek hijau yang masih terbuka luas.

Namun, perjalanan IDXCarbon tidak lepas dari tantangan. Dari sisi kebijakan nasional, Indonesia hingga saat ini belum memberlakukan pajak karbon secara penuh, meski sudah direncanakan sejak 2021.

Perdagangan emisi di subsektor pembangkit listrik untuk periode 2025 pun belum berjalan, sementara sektor lainnya masih dalam tahap penyusunan peta jalan.

Di tingkat internasional, Indonesia sudah menandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan Gold Standard Registry, dan sedang dalam proses negosiasi dengan VERRA Registry.

MRA ini menjadi tonggak penting karena akan memastikan kredit karbon Indonesia dapat diakui dalam mekanisme global, termasuk dalam skema Article 6 Paris Agreement, Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), maupun pasar sukarela internasional. Selain dari sisi kebijakan, tantangan lainnya adalah kebutuhan menciptakan permintaan (demand side) yang kuat.

Saat ini sebagian besar transaksi masih bersifat sukarela, baik oleh perusahaan yang ingin menunjukkan komitmen Environmental, Social, Governance (ESG) maupun individu yang peduli lingkungan.

Ke depan, agar pasar karbon lebih berkelanjutan, diperlukan regulasi yang mendukung mengenai kewajiban offset emisi bagi sektor-sektor tertentu, insentif fiskal bagi perusahaan yang aktif melakukan dekarbonisasi, serta pengakuan internasional yang luas atas kredit karbon Indonesia.

Dengan demikian, nilai ekonomis dari pasar karbon bisa semakin besar dan menjadi instrumen nyata dalam mendorong transformasi ekonomi hijau.

Sejalan dengan itu, BEI juga meluncurkan program CarbonACT Indonesia, sebuah rangkaian inisiatif untuk mendukung transisi menuju Net Zero. Program ini mencakup edukasi publik melalui kampanye nasional, penyediaan Carbon Calculator untuk individu maupun perusahaan, pelaksanaan Net Zero Incubator bagi perusahaan tercatat, hingga penerbitan produk investasi hijau seperti obligasi berkelanjutan (Green, Social, and Sustainability Bonds), reksadana ESG, maupun indeks saham berbasis ESG.

Transparansi investasi keberlanjutan semakin terjamin dengan hadirnya panduan pelaporan ESG Metrics Reporting Guidelines yang dikeluarkan BEI. Panduan ini mencakup 28 metrik utama yang meliputi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola, sehingga memberikan kejelasan bagi emiten dalam menyusun laporan keberlanjutan sekaligus membantu investor dalam menilai risiko serta peluang.

Melihat capaian hingga 2025, IDXCarbon membuktikan peran aktifnya dalam menghadapi krisis iklim global. Pertumbuhan volume transaksi yang masif, peningkatan jumlah pengguna, serta pengakuan internasional menjadi sinyal kuat bahwa perdagangan karbon di Indonesia bukan sekadar wacana, tetapi sudah menjadi kenyataan yang diperhitungkan dunia. Tantangan regulasi dan pengembangan pasar memang masih ada, tetapi justru di situlah peluang terbuka, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat perdagangan karbon terbesar di Asia, bahkan dunia.

Ke depan, kesuksesan IDXCarbon akan sangat bergantung pada kolaborasi berbagai pihak, pemerintah, regulator, pelaku pasar, investor, dan masyarakat. Setiap pihak memiliki peran untuk memastikan bahwa perdagangan karbon benar-benar membawa manfaat, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga lingkungan. Jika dikelola dengan baik, bursa karbon tidak hanya akan memperkuat daya saing Indonesia, tetapi juga mewariskan bumi yang lebih lestari bagi generasi mendatang. ***