LIPUTAN BANDUNG- Kekhawatiran akan adanya seismic gap di megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut semakin meningkat setelah Jepang mengeluarkan peringatan tentang potensi gempa megathrust lanjutan.
Peringatan ini muncul setelah gempa berkekuatan magnitudo 7,1 mengguncang megathrust Nankai di Jepang Selatan pada Kamis, 8 Agustus 2024. Zona megathrust Nankai memiliki palung bawah laut yang, jika diguncang gempa, dapat memicu atau membuka jalan bagi gempa dahsyat di sistem tunjaman Nankai.
Hal ini patut menjadi perhatian Indonesia, mengingat sejarah menunjukkan bahwa megathrust Nankai berpotensi memicu serangkaian gempa besar.
Istilah megathrust sendiri merujuk pada kombinasi dari kata “mega” yang berarti besar, dan “thrusting” yang menggambarkan mekanisme gempa yang mendorong naik ke atas, yang sering kali berpotensi memicu tsunami. Dengan demikian, megathrust mengindikasikan potensi gempa dahsyat yang dapat menimbulkan tsunami besar.
Mengidentifikasi Potensi Gempa
Untuk memahami potensi gempa di suatu wilayah, beberapa bukti penelitian dapat dijadikan acuan, yaitu:
1. Sejarah kegempaan, yang meliputi catatan historis mengenai gempa yang pernah terjadi di wilayah tersebut.
2. Data pengamatan pola kegempaan saat ini, yang menunjukkan bahwa daerah yang berpotensi mengalami gempa besar di masa depan biasanya memiliki aktivitas kegempaan yang relatif rendah saat ini.
3. Akumulasi regangan, yang diukur melalui pengamatan deformasi seperti yang dilakukan dengan teknologi GPS oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dalam sebuah dialog publik yang disiarkan secara langsung melalui Instagram bersama Medcom.id pada Selasa, 13 Agustus 2024, Pakar Gempa ITB, Prof. Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc., menjelaskan bahwa ketiga kondisi tersebut telah terpenuhi di wilayah Mentawai. Sementara itu, di Selat Sunda, hanya kondisi kedua dan ketiga yang terpenuhi. Kondisi pertama, yaitu catatan sejarah kegempaan, tidak terpenuhi di Selat Sunda.
Hal ini menunjukkan bahwa bukti riset di Selat Sunda tidak sekomprehensif di Mentawai, terutama karena perbedaan geografis yang membuat penelitian di Selat Sunda lebih sulit dibandingkan di Mentawai.
Baca Juga :SBM ITB Kembali Menggelar ESG Awards Anugerah Avirama Nawasena 2024 dengan 7 Kategori Inovasi
Meskipun demikian, Prof. Irwan menekankan bahwa kurangnya data sejarah kegempaan di Selat Sunda tidak mengurangi potensi terjadinya gempa di megathrust Selat Sunda.
“Jika kita bicara tentang potensi gempa di kedua lokasi tersebut, sama-sama besar,” ujarnya.
Ia mengibaratkan akumulasi energi di megathrust ini seperti menabung. Energi yang terus terkumpul pada akhirnya akan dilepaskan dalam bentuk gempa, sesuai dengan hukum alam.
Namun, meskipun riset modern telah berkembang pesat, hingga kini belum ada teknologi yang mampu menentukan dengan pasti kapan gempa tersebut akan terjadi.
“Terdapat potensi besar untuk terjadinya gempa di masa depan. Berdasarkan riset modern, kita memang belum dapat menentukan waktu yang pasti tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut, Prof. Irwan menjelaskan bahwa gempa bukanlah bencana, melainkan proses alami yang memang harus terjadi sesuai hukum alam. Bencana yang sesungguhnya adalah kerusakan infrastruktur, seperti bangunan yang roboh, termasuk sekolah dan fasilitas kesehatan.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa ketika gempa terjadi, dampaknya tidak berubah menjadi bencana.
Untuk menghadapi potensi gempa ini, Prof. Irwan menyarankan agar literasi kebencanaan masyarakat, termasuk pemerintahan, terus ditingkatkan.
Hal ini bisa dilakukan melalui dialog publik hingga integrasi informasi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan.
“Jadikan potensi bencana sebagai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan,” tuturnya.
Dengan demikian, keputusan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah akan lebih didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kebencanaan.