LIPUTAN BANDUNG – Kejagung Ungkap Dugaan Korupsi Pertamina Pengoplosan Pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92 Rugikan Negara Rp193,7 triliun
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang, di mana bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 dioplos menjadi RON 92.
“BBM yang seharusnya berjenis RON 90 dibeli dengan harga RON 92, kemudian dicampur,” ungkap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa.
Kasus ini bermula pada periode 2018—2023 ketika pemenuhan minyak mentah dalam negeri diwajibkan untuk mengutamakan pasokan dari dalam negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018. PT Pertamina (Persero) seharusnya mencari pasokan minyak dari kontraktor dalam negeri sebelum memutuskan untuk melakukan impor.
Baca Juga:Pemkot Bandung Gratiskan Layanan Pemakaman, DPRD Dorong Sosialisasi Lebih Masif
Namun, para tersangka dalam kasus ini, yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, serta Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, diduga melakukan manipulasi yang menyebabkan turunnya produksi kilang. Akibatnya, minyak mentah dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
Karena produksi kilang minyak sengaja diturunkan, pasokan minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan nilai ekonomis yang dianggap rendah.
Akibatnya, minyak tersebut harus diekspor ke luar negeri, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi dengan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan impor produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Dalam proses impor ini, ditemukan adanya pengondisian pemenangan broker tertentu yang menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan.
Baca Juga:Telkom Witel Bandung Menerima Kunjungan Industri Salah Satu SMK di Kota Bandung
Tersangka lain, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, diduga berkomunikasi dengan Agus untuk mendapatkan harga tinggi.
Mereka juga mendapatkan persetujuan dari Sani untuk impor minyak mentah serta Riva untuk impor produk kilang.
“Kerugian negara timbul akibat impor minyak mentah melalui broker. Sementara pada saat yang sama, bagian KKKS justru dijual ke luar negeri dengan alasan harga tidak masuk dalam HPS,” jelas Qohar.
Selain itu, Riva diduga melakukan pembelian BBM jenis RON 92, tetapi sebenarnya hanya membeli BBM dengan RON lebih rendah.
BBM tersebut kemudian dioplos di storage atau depo agar memiliki kadar RON 92, padahal tindakan tersebut dilarang.
Selain itu, dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan adanya markup kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF), Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Akibatnya, negara harus membayar fee ilegal sebesar 13—15 persen. Tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, disebut memperoleh keuntungan dari transaksi ini.
Dengan mayoritas kebutuhan minyak dalam negeri diperoleh melalui impor yang melawan hukum, harga dasar yang digunakan sebagai acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM menjadi lebih mahal.
“Ketika BBM dijual ke masyarakat dengan harga tinggi, daya beli masyarakat terpengaruh, sehingga pemerintah harus memberikan subsidi dan kompensasi. Hal ini menggerus anggaran APBN,” kata Qohar.
Akibat berbagai tindakan melawan hukum ini, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun.