Gaya Kepemimpinan Mahasiswa Gen-Z:Soft-Spoken atau Bossy?

oleh -15 Dilihat
Ilustrasi gaya kepemimpinan. Foto: Pixabay.com
Ilustrasi gaya kepemimpinan. Foto: Pixabay.com

LIPUTAN BANDUNG- Beberapa tahun terakhir, Gen Z sering menjadi sasaran meme. Mereka disebut lembek, terlalu sensitifatau “nggak tahan tekanan.”

Tapi lucunya, stereotip itu justru bikin Gen Z semakin peka terhadap sifatsatu generasinya sendiri. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang terbuka, sehingga mereka lebihsadar apabila sesamanya itu tidak cocok dipimpin dengan cara yang otoriter.

Ilustrasi gaya kepemimpinan. Foto: Pixabay.com
Ilustrasi gaya kepemimpinan. Foto: Pixabay.com
Gen Z itu ingin didengar,diajak diskusi dan ingin dikasih ruang untuk mengerti dahulu sebelum dikasih perintah.Untuk Gen Z, pemimpin yang ideal itu bukan seseorang yang suaranya paling keras, tetapi yangpaling bisa connect.

Bukan tipe pemimpin yang menekankan “aku ketua, kamu anggota,” tetapi yangvibes-nya lebih seperti “ayo diskusi bareng”. Gen Z lebih nyaman dengan pemimpin yang bisamenciptakan ruang sharing, mengajak diskusi serta bikin kolaborasi itu bukan sekadar jargon, tetapibudaya sehari-hari.

Setelah melihat dinamika Gen Z dalam keseharian, muncul pertanyaan menarikkalau generasi ini menolak kepemimpinan yang kaku, seperti apa sebenarnya gaya memimpin merekaketika diberi tanggung jawab? Untuk menjawabnya, sebuah mini riset dilakukan terhadap 30 ketua himpunan mahasiswa diUniversitas Padjadjaran menggunakan kuesioner Influencing Style yaitu alat yang digunakan untukmelihat bagaimana seseorang biasanya memengaruhi orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Gaya PUSH terlihat ketika seseorang berusaha meyakinkan dengan cara yang tegas, logis, dan langsungmenyampaikan idenya.

Sebaliknya, gaya PULL muncul ketika seseorang lebih memilih untukmendengarkan, memahami sudut pandang orang lain, dan membangun ide bersama. Fokusnyasederhana yaitu apakah para pemimpin muda ini lebih condong ke gaya PULL yang empatik,kolaboratif, dan hangat atau PUSH yang tegas, berani mengambil keputusan dan berorientasi padahasil? Hasilnya cukup mengejutkan, Gen Z ternyata tidak sesederhana label yang sering ditempelkan kepadamereka.

Mayoritas responden justru menunjukkan kekuatan di dua sisi sekaligus. Mereka mampu memimpin dengan hati, tetapi juga tahu kapan harus mempertegas arah. Mereka tidak kehilanganempati, tapi juga tidak ragu untuk nge-rem, nge-gas atau memberikan arahan jelas ketika situasimenuntut.

Dengan kata lain mereka masuk lewat PULL, tapi selalu menyimpan PUSH di belakangnyauntuk siap keluar ketika dibutuhkan.Terlihat dari riset yang sudah dilakukan melalui 36 pertanyaan terbagi menjadi 18 PUSH dan 18PULL, yang diberikan mengenai gaya persuasif Gen Z dalam memimpin, Gen Z memangmengkombinasikan dua pendekatan antara hangat sekaligus tegas.

Kombinasi inilah yang membuatgaya kepemimpinan mereka terasa beda, lebih fleksibel tapi tetap mampu mengarahkan.

Tidak heran jika di balik karakter mereka yang kolaboratif, Gen Z juga menyimpan sisi PUSH yang cukup kuat.

Ketika situasi menuntut keputusan cepat, mereka berani mengambil alih.Banyak responden mendapat skor PUSH dengan nilai rata-rata sebesar 50,6% sedangkan gaya PULL mencapai 49,4%, hal ini menandakan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan empati.

Mereka mampu menyusun argumen, mempertahankan pendapat, dan memberi arahan yang jelas. Salah saturesponden bahkan bilang, “Kalau semuanya nunggu, organisasi nggak akan jalan. Kadang harus ada yang ngomong: oke, kita putuskan sekarang.”

Ini menunjukkan satu hal, mendengar itu penting, tapitahu kapan harus bertindak jauh lebih krusial dalam kepemimpinan Gen Z.

Melihat bagaimana pemimpin Gen Z memadukan fleksibilitas dengan ketegasan, wajar jika PULLstyle justru menjadi titik awal yang paling kuat.

Dalam generasi ini, empati dan keterbukaan bukan hanya soal preferensi memimpin, tetapi bagian dari kebutuhan sosial, mereka ingin didengar,dipahami, dan diberi ruang untuk menyampaikan suara mereka. Dari 30 responden, mayoritas masukkategori definite use of the style, tanda bahwa mereka sangat mengandalkan kolaborasi dalam mengambil keputusan.

Hampir semua ketua himpunan mengaku mendengarkan pendapat anggota,memberi ruang bagi orang lain untuk menemukan solusi sendiri, serta menyesuaikan ritme kerja dengan kebutuhan tim.

Di lingkungan organisasi kampus, gaya seperti ini membuat pemimpin terasalebih down to earth, dekat dan relevan dengan karakter Gen Z yang memang mencari sense of belonging dalam komunitasnya.

Salah satu hal menarik dalam temuan PULL style adalah bagaimana ketua himpunan mengakui kesalahan, menerima kritik dengan kepala dingin, dan terbuka mengenai batas kemampuan mereka.

Sifat-sifat ini selaras dengan pendekatan empatik pemimpin yang membangun kepercayaan lewat kerendahan hati bukan lewat dominasi.

Namun, di balik sikap terbuka itu, muncul hal lain yang justru memperkuat gambaran kepemimpinan Gen Z. Banyak dari mereka tetap bersikap tegas ketika mempertahankan ide atau menjawab keberatan.

Perpaduan antara kerendahan hati dan keberanian mengambil posisi inilah yang membuat mereka tidak hanya “soft spoken” tetapi juga strategic allyassertive.

Dilihat dari konteks sosialnya, pola ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Gen Z tumbuh dilingkungan yang menekankan pentingnya empati, komunikasi terbuka dan kenyamanan emosional,sehingga pendekatan kolaboratif terasa jauh lebih natural bagi mereka.

Namun di sisi lain, mereka juga hidup di zaman yang bergerak cepat seperti deadline rapat bahkan konflik internal menuntut keputusan yang tidak bisa ditunda.

Di titik inilah keunikan pemimpin Gen Z terlihat. Mereka pahambahwa kedekatan tidak boleh membuat arah organisasi kabur.

Mereka membangun hubungan lewat empati tetapi ketika situasinya membutuhkan keputusan yang tegas, mereka tidak ragu untuk mengambil alih.

Empati menjadi cara mereka membuka pintu dan ketegasan menjadi cara merekamemastikan semua orang tetap berada di jalur yang sama.

Beberapa responden dengan skor PUSH tinggi cenderung sangat percaya diri dengan gagasannya bahkan ruang untuk ide orang lain menjadi lebih sempit. Di sisi lain, pemimpin dengan skor PULL yang sangat tinggi kadang terlalu menahan diri, tidak mendorong anggota meski situasinya butuhkeputusan cepat.

Dua pola ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan Gen Z berada di spektrum yang luas dan bahwa fleksibilitas bukan dimiliki semua orang. Namun jika melihat gambaran besarnya, hasil penelitian ini justru menantang stereotip lama tentang Gen Z yang pasif, lembek, atauanti-konflik.

Mayoritas ketua himpunan ternyata nyaman menggunakan empati sekaligus ketegasan dalam waktu yang bersamaan.

Mereka bisa membangun ruang yang aman dan inklusif, tapi tetap tahu kapan harusmengambil alih arah. Kombinasi dua gaya ini membuat mereka tidak hanya mampu menjaga relasi,tetapi juga memastikan organisasi tetap bergerak.

Hal ini yang membuat kepemimpinan Gen Z terasa berbeda, mereka tidak terjebak pada label “soft-spoken” atau “bossy”, tetapi mampu memainkan duaperan secara bergantian sesuai kebutuhan. Di tengah dunia yang bergerak cepat, kemampuan menyeimbangkan empati dan ketegasan menjadi aset besar, asal disertai refleksi dan kesadaran diri.

Pada akhirnya, bukan soal mana gaya yang lebih benar, tetapi kapan dan bagaimana gaya itu digunakan untuk membawa orang lain maju bersama.

Penulis: Dewi Nurapriani, Kiyana Aqilla Nadhira, Zahra Fauziyyah.