Kemendukbangga Siapkan Paket Regulasi Kependudukan Baru Menuju Negara Maju

LIPUTAN BANDUNG – Kemendukbangga Siapkan Paket Regulasi Kependudukan Baru Menuju Negara Maju

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) kini tengah menyiapkan paket regulasi baru yang diharapkan menjadi fondasi pembangunan kependudukan di Indonesia. Lebih dari sekadar dokumen perencanaan, paket regulasi ini bakal mengatur secara detail peran setiap pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Kami tengah mengkaji dan mengevaluasi Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) yang telah disusun sebelumnya. Kita punya mimpi untuk menjadi negara maju yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Untuk mencapai ke sana, kita membutuhkan grand design yang adaptif sekaligus presisi dalam mengukur pencapaiannya,” terang Sekretaris Kemendukbangga Budi Setyono saat berbincang dengan sejumlah jurnalis di Garut pada Jumat malam (16/5/2025).

Budi menjelaskan, paket regulasi rencana induk berupa GDPK bakal dilengkapi dengan dokumen perencanaan turunannya. Dengan begitu, pembagian peran dan linimasa sudah dapat ditentukan sejak awal. Juga bagaimana mengukur pencapaiannya.

Baca Juga:Balai Diklat KKB Dituntut Hadirkan Solusi Masalah Kependudukan

“Kami tidak mau hanya jadi dokumen administratif. Harus bisa dieksekusi. GDPK akan dilengkapi dengan peta jalan (roadmap), rencana aksi nasional, rencana aksi daerah, dan turunan lainnya,” ujar Budi.

Budi mengakui penyusunan paket regulasi perencanaan pembangunan kependudukan tidak lepas dari mimpi besar mewujudkan Indonesia sebagai negara maju sekaligus menjemput Indonesia Emas pada 2045 mendatang. Pada saat yang sama berupaya mengotimalkan periode bonus demografi.

Bagi Budi, rendahnya rasio ketergantungan (dependency ratio) sebagaimana tecermin pada struktur umur penduduk Indonesia belum cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju.

Penduduk usia produktif tidak serta-merta menjamin hadirnya kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

“Kalau kita bicara dependency ratio, angka kita sudah berada pada angka 46-47 persen. Secara statistik, beban penduduk usia produktif untuk ‘menggendong’ penduduk usia nonproduktif cukup ringan. Faktanya tidak demikian.

Usia produktif yang tidak bekerja malah menjadi beban yang harus ‘digendong’ juga. Ini pekerjaan rumah kita bersama,” ungkap Budi.

Baca Juga:Pemerintah Pusat dan Pemkab Garut Perkuat Sinergi, Bonus Demografi Jadi Fokus Utama

“Katakanlah kalau kita ibaratkan keluarga kecil, dua orang tua ‘menggendong’ satu anak yang belum bekerja. Itu ringan. Karena mereka ini pasti bisa melakukan saving. Pendapatan tidak habis untuk konsumsi. Bisa saving untuk beli rumah baru, beli kendaraan, beli kebun, beli ini-itu, dan lain-lain. Mereka akan bisa cepat menjadi keluarga yang sejahtera. Kira-kira kalau di level rumah tangga itu begitu,” Budi mencontohkan.

Dalam konteks lebih besar, Budi menyatakan saat ini Indonesia tengah mengalami surplus usia produktif terhadap yang nonproduktif.

“Tapi kenyataannya kan itu tidak terkapitalisasi dengan baik karena saking banyaknya orang yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal. Angkanya bahkan menurut statistik di BPS kan kira-kira 59 persen, lebih dari 50 persen,” tambah Budi.

Karena itu, sambung Budi, harus ada strategi dari sisi kependudukan yang bisa membuat satu peta jalan agar Indonesia tidak terjebak di dalam kondisi ini.

Sebaliknya, mampu melepaskan dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).

“Nah, itulah mengapa pemerintah berusaha membuat apa yang namanya peta jalan, grand design pembangunan kependudukan, lalu rencana aksi pembangunan kependudukan beserta nanti turunan-turunannya. Kita membuat termasuk nanti untuk mengevaluasi kinerja pemda dalam konteks ini adalah indikator pembangunan berwawasan kependudukan,” ujar Budi.

Menuju Negara Maju

Budi mengungkapkan, GDPK baru yang kini sedang digodok akan berupaya menjawab sekaligus menjadi panduan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara baru.

Upaya ini bertumpu pada dua hal: menetapkan parameter negara maju dan bagaimana mewujudkan negara maju itu sendiri.

Nah, untuk bisa memastikan tercapainya predikat negara maju, Budi menyatakan ada dua prasyarat yang harus terpenuhi.

Pertama, sehat jasmani dan rohani. Kedua, harus punya satu level kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

“Mereka tidak boleh stunting. Karena itu, program kita salah satunya adalah pemberantasan stunting melalui Genting atau Gerakan Orang Tua Asuh Peduli Stunting.

Itu salah satu relevansi kehadiran Kemendukbangga dengan visi mewujudkan negara maju. Jadi, Genting ini dimasukkan agar memastikan tidak ada bayi yang lahir stunting. Sebab kalau ada bayi lahir stunting, hidupnya itu selamanya stunting. Dia pasti akan tersisih di market.

Pabrik-pabrik misalnya atau perusahaan besar kemungkinan tidak mau menerima orang yang kondisi stunting. Strategi Genting ini untuk mencegah jangan ada lagi bayi lahir stunting,” tandas Budi.

Dari sisi kompetensi, harus ada data kependudukan yang canggih untuk memastikan antara supply and demand ini terkoneksi dengan kebutuhan industri.

Dia mencontohkan, data kependudukan harus mampu menyajikan kebutuhan industri terhadap lulusan teknik mesin atau teknik kimia misalnya. Link and match antara lembaga pendidikan dengan dunia industri harus ter-cover dalam GDPK.

“Kalau dokter yang dibutuhkan itu 1.000 orang, ya dari sini juga supplier-nya jangan terlalu banyak. Sehingga, setiap lulus baru keluar langsung diterima 100 persen oleh industri dan seterusnya. Dengan demikian, rekrutmen untuk pendidikan dan pelatihan harus berbasis pada demand di sektor industr,” Budi mencontohkan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *