Patok Harus Permanen, Dirjen SPPR: 50 Persen Persoalan Sengketa Tanah Dipicu Tidak adanya Batas Tanah

NASIONAL3 Dilihat

LIPUTAN BANDUNG – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, 50 persen persoalan sengketa tanah dipicu tidak adanya tanda batas tanah atau yang lebih dikenal dengan sebutan patok.

Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (Dirjen SPPR), Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya.

Virgo pun mengimbau masyarakat agar memanfaatkan momen lebaran untuk mengecek keadaan patok atas tanah yang dimiliki di kampung halaman.

“Lebih dari 50 persen masalah sengketa batas terjadi akibat ketiadaan patok batas. Oleh karena itu, kita akan mengatur dalam regulasi baru bahwa tanda batas harus bersifat permanen,” kata Virgo dilansir dari laman resmi atrbpn.go.id.

Sebab, apabila patok tanah tidak dibuat secara permanen tidak bisa dilakukan pengukuran. Menurutnya, patok tanah tak bisa hanya menggunakan bambu sebagai tanda batas, melainkan harus sesuatu yang permanen, seperti beton, tembok, atau pagar.

“Jadi bagi masyarakat yang mudik, yuk di cek kembali patok atau tanda batas tanahnya” ucapnya.

Virgo menjelaskan, menjaga aset tanah, termasuk tanah di kampung halaman merupakan kewajiban dari setiap pemilik tanah dan bentuk menjaga itu sendiri bisa dimulai dengan memasang patok batas tanah tersebut.

Selain itu, patok ini juga merupakan langkah awal dalam proses legalisasi hak atas tanah sebelum akhirnya dikeluarkan sertipikat tanah.

“Nanti ketika di kampung halaman masing-masing, tanahnya ditembok atau pagari. Dalam proses pemasangan tanda atas, pasti akan ada silaturahmi dengan tetangga, minimal dengan yang ada di kiri, kanan, dan belakang,” jelasnya.

“Jadi, memasang tanda batas bukan hanya soal administrasi, tetapi juga memiliki nilai sosial dan keberkahan,” sambungnya.

Merujuk kepada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021, terang Virgo, penetapan dan pemasangan tanda batas bidang tanah memiliki beberapa aturan. Di antaranya, pemasangan tanda batas dilakukan oleh pemohon setelah mendapat persetujuan pemilik yang berbatasan.

Kemudian, pemasangan tanda batas dilakukan pemotretan terhadap tanda batas yang terpasang dengan dilengkapi keterangan lokasi, koordinat, atau geotagging; pada pemasangan tanda batas, pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemohon; adanya surat pernyataan pemasangan tanda batas dan persetujuan pemilik yang berbatasan

“Selanjutnya, adanya hasil pemotretan tanda batas dan surat pernyataan pemasangan tanda batas, serta persetujuan pemilik yang berbatasan menjadi syarat kelengkapan berkas permohonan,” tandasnya.

Sebagai informasi, pada Februari 2023 lalu, Kementerian ATR/BPN telah mulai mencanangkan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (GEMAPATAS), berupa pemasangan sebanyak 1 juta patok batas secara serentak di seluruh Indonesia.

Gerakan tersebut diinisiasi agar masyarakat terhindar dari sengketa pertanahan dan sebagai upaya mempercepat proses pendaftaran tanah.***

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *